Benteng Indra Patra: Menjelajahi Jejak Kerajaan Hindu di Serambi Mekkah

Provinsi Aceh, yang terkenal sebagai ‘Serambi Mekkah’ dengan dominasi sejarah Islam yang kuat, menyimpan sebuah kejutan sejarah yang menarik dan sering luput dari perhatian. Kejutan itu adalah sebuah struktur pertahanan kuno yang menjadi saksi bisu keberadaan peradaban yang jauh lebih tua: Benteng Indra Patra. Terletak di kawasan Ladong, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, benteng ini merupakan peninggalan bersejarah dari era pra-Islam di Aceh, tepatnya dari Kerajaan Lamuri. Benteng ini menjadi bukti penting bahwa sebelum Islam datang dan berkembang pesat, Aceh pernah menjadi rumah bagi kerajaan-kerajaan Hindu. Struktur benteng ini unik karena dibangun menghadap ke laut, dirancang sebagai garis pertahanan maritim, khususnya terhadap serangan dari arah Selat Malaka. Berdasarkan laporan hasil survei arkeologi yang dilakukan pada tahun 2018, diperkirakan benteng ini telah berdiri kokoh sejak abad ke-7 Masehi, menjadikannya salah satu situs pertahanan tertua di Indonesia.

Kawasan cagar budaya ini memiliki luas total sekitar 4 hektar. Secara spesifik, Benteng Indra Patra terdiri dari tiga kompleks utama yang saling terhubung. Kompleks benteng pertama adalah yang terbesar dan menjadi titik fokus utama, dikelilingi oleh parit pertahanan. Di dalam kompleks ini, terdapat sisa-sisa reruntuhan candi atau pura kecil yang menunjukkan fungsi awalnya sebagai tempat peribadatan Hindu. Meskipun mengalami kerusakan parah akibat usia, bencana alam, dan minimnya perawatan di masa lalu, keunikan arsitekturnya yang terbuat dari susunan batu kali dan bata merah masih terlihat jelas. Struktur bangunannya menyerupai tangga terasering, sangat khas dengan gaya arsitektur pra-Islam di Nusantara. Pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Aceh telah memulai proyek konservasi bertahap sejak 2021, dengan fokus pada penguatan struktur dinding dan penggalian artefak tambahan di sekitar lokasi.

Meskipun fungsi utamanya adalah sebagai benteng pertahanan, situs ini juga memiliki nilai spiritual dan budaya yang tinggi. Keberadaannya di tepi pantai menambah nuansa mistis, seolah-olah membisikkan kisah kejayaan Kerajaan Lamuri yang kala itu menjadi pelabuhan penting di jalur perdagangan rempah. Jejak Kerajaan Hindu ini mengingatkan kita akan pluralitas dan akulturasi budaya yang pernah ada di Aceh. Benteng Indra Patra ini sempat digunakan kembali pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, di mana fungsinya diubah menjadi pos pengawasan dan pertahanan untuk memantau pergerakan kapal asing. Hal ini menunjukkan pentingnya posisi strategis situs ini sepanjang sejarah Aceh. Pada bulan Oktober 2024, Pemerintah Kabupaten Aceh Besar berencana mengadakan festival sejarah dan budaya di sekitar kawasan benteng untuk menarik kunjungan wisatawan edukatif dan mengenalkan kembali situs bersejarah ini kepada generasi muda.

Wisatawan yang mengunjungi situs ini akan disuguhkan pemandangan lautan lepas yang indah dan merasakan aura sejarah yang kuat. Sebagai salah satu dari tiga benteng kuno yang tersisa di Aceh Besar—bersama Benteng Inong Balee dan Benteng Iskandar Muda— Benteng Indra Patra tetap menjadi saksi bisu perjalanan panjang peradaban Aceh. Keunikan benteng ini, yang berdiri di tengah kawasan yang kental dengan budaya Islam, menjadikannya anomali historis yang patut dihargai dan dipelajari. Melalui kunjungan ke situs ini, kita dapat menggali lebih dalam warisan sejarah nusantara yang kaya, sekaligus mengapresiasi keunikan Benteng Indra Patra sebagai warisan budaya nasional yang tak ternilai harganya.